Wednesday, February 07, 2007

Banjir Jakarta dan Pilkada DKI

Semingguan ini Jakarta dilanda banjir besar. Terbesar sejak 2002. Kala itu saya masih ingat, semingguan bolos karena kantor saya (masih di Thamrin) termasuk siaga I. Untuk pertama kali dalam sejarah, banjir 2002 mengakibatkan Istana Negara menjadi kolam setinggi mata kaki. Itupun setelah pompa-pompa penyedot bekerja keras membuang air ke daerah kota.

Saat ini, belum terdengar berita air masuk Istana. Tapi dampak banjir kali ini lebih parah. Tahun 2002, saya tidak mendengar berita motor boleh masuk tol. Tapi tahun ini Tol Simatupang, Halim dan beberapa yang lain boleh dilalui motor. Beberapa rual tol terpaksa ditutup. Proyek Banjir Kanal Barat yang diharap mampu mengatasi beban air, malah meluap ke daerah sekitarnya. Sungguh sia-sia proyek trilyunan rupiah ini.

Dari sisi komunikasi berbasis kabel, Jakarta juga lumpuh. Kalau semingguan ini Anda tidak bisa menelpon rumah (fix line), salahkan banjir ini. STO Pusat Gatsu (Gatot Subroto) tampaknya dimatikan atau tak kuasa menahan tsunami request komunikasi. Tidak Jakarta saja, kemungkinan Jawa, Sulawesi dan bagian Timur Indonesia mengalami gangguan SLI. Telepon lokal kemungkinan masih bisa tersambung.

Semalam, saya terpaksa menelpon HP istri untuk bisa berkomunikasi.Itupun setelah susah payah mencoba setengah jam lebih. Iseng-iseng, saya browsing ke beberapa situs Indonesia. Situs BPS, BAPETEN dan BATAN termasuk yang keok terkena dampak banjir. Maklum, mereka hanya mengandalkan leased line PT. Telkom. Yang beruntung antara lain BAPPENAS, DEPKEU, Kota Blitar, dan Univ. Andalas Padang. Daerah Sumatera Bagian Tengah ke atas (ke arah utara) selamat karena berbekal koneksi ke Batam (tanpa melalui Jakarta) untuk selanjutnya tersambung ke Singapura, gateway internasional utama Indonesia.

Kemana Sutiyoso?
Dari sekian banyak yang bisa ditelaah, saya memilih topik: Dimana eksistensi Pemda DKI? Kemana gerangan Sutiyoso dan aparatnya? Mereka sekarang persis seperti salah satu kaidah ilmu Fiqih: Wujuduhu ka 'adamihi. Wujudnya ada, tapi seperti tidak kelihatan alias tidak berperan. Jakarta memang sudah tidak mampu menampung belasan juta manusia. Ekologinya terlanjur rusak.

Tapi, sebenarnya ada yang bisa kita kerjakan. Mulai dari berbenah sampah, tertib tata ruang dan sebagainya. Dan teknologi ada untuk membantu menangani semua kesulitan. Sulitnya, ini tidak bisa tergantung warga biasa. Jakarta memerlukan kepemimpinan yang kuat untuk berubah. Tidak hanya kuat dari sisi pengaruh dan populis, tetapi juga harus mempunyai niat baik, tekat dan kemauan untuk membuat Jakarta lebih baik, ramah lingkungan dan tertib.

Capek saya melihat Jakarta dipimpin militer lagi. Tapi juga tak mau kalau Jakarta dipimpin politisi mutungan macam (maaf) Faisal Basri. Bekal populis macam Rano Karno juga tak mungkin dapat memecahkan masalah. Fauzi Bowo juga terbukti tidak bisa diandalkan. Sarwono? Waduh, terlalu tua Pak !

Saya kemudian melihat database milis JDS 2006. Dan mata saya tertuju pada data seseorang. Yang kumisnya tidak kalah lebat dari Rano Karno. Dia juga anak Betawi asli. Kepandaiannya di atas rata-rata. Kelihatannya dia juga sanggup bekerja keras. Namanya WAHYU SETYAWAN.

Jakarta memang membutuhkan wahyu Tuhan untuk berubah. Jadi, mengapa tidak "Wahyu" saja?

Setuju???