Menjadi Sensei Sehari
Kamis, 15 Maret 2007. Untuk pertama kalinya saya masuk ke sekolah dasar negeri di Jepang. Bukan sebagai orang tua murid, tapi sebagai Visiting Teacher alias Sensei untuk mata pelajaran English bagi murid kelas 4. Nama sekolahnya Kasanui Higashi Shougakko (SDN Kasanui Timur) di Kusatsu City. Saya tidak sendiri, tapi berdua dengan Gerelma-san dari Mongol. Ehem!
Sudah lama saya bilang pada Yonekawa-san dari BKC International Office, agar bila ada kesempatan mengunjungi sekolah dasar, saya ingin sekali ikut. Saya ingin mengetahui suasana di sekolah dasar secara umum, sebelum anak saya menjadi murid SD di Jepang.
Sebelum hari-H, Hiromi Sensei (guru bahasa Inggris) dan beberapa guru lain bertemu dengan kami guna menyusun skenario kecil. Ada 2 kegiatan dasar, pertama adalah menjawab beberapa pertanyaan yang sudah disiapkan, dan kedua mengajarkan permainan khas anak-anak Indonesia. Tantangannya, kami harus sejauh mungkin memakai kalimat sederhana, mengingat mereka baru 2 tahun belajar English.
Ada 20 pertanyaan yang boleh dipilih oleh murid, diantaranya tentang agama, perayaan tahun baru, hari libur nasional, sayuran yang tumbuh di negara masing-masing, suhu dan musim, makanan favorit di Jepang, dan sebagainya. Dasar orang Jepang kali ya, kami berdua diharuskan menjawab semua pertanyaan saat briefing itu. Ketika akhirnya mereka puas dan surprise dengan jawaban kami, barulah jawaban-jawaban tadi mendapat approval. Mungkin juga karena saya Muslim, hehehe. Tentang permainan, saya pilih yang sederhana: PING SUT. Di sini, mereka punya Janken (gunting, batu, kertas) yang sejenis dengan ping sut. Sementara si Gerelma memilih permainan 10 batu ala Mongol.
Pukul 9 tepat, kami berangkat dari Kusatsu-Eki dengan mobil yang memang disiapkan. Kata Hiromi Sensei, murid-muridnya sudah tidak sabar dan pingin bertemu kami. Wah, heboh nih, pikir saya. Perkiraan saya tidak meleset. Mereka benar-benar girang bertemu kami. "Good morning Ridwan-san and Gerelma-san .....", serempak mereka menyambut kami di pintu kelas.
Dan waktu berlalu sangat cepat, mereka bergembira. Mereka sangat antusias, demikian juga saya. Mengalir begitu saja. Tapi sifat malu-malu anak Jepang masih kentara. Mereka baru berubah, ketika saya mulai bergurau secara lepas. Sampai-sampai Hiromi Sensei berkata, "Ridwan-san, harusnya Anda jadi guru, bukan PNS. Pas banget mimik dan gayanya". Saya hanya nyengir kuda. Hiromi Sensei tidak tahu, betapa menyakitkannya menjadi guru di Indonesia.
Kelas makin semarak, ketika saya keluarkan sesuatu dari balik jaket. Topi haji yang selalu saya pakai ketika sholat. "Kashite kudasai, kashite kudasai ...", teriak mereka. Mereka pingin mencoba topi orang Islam. Maka secara bergiliran, anak-anak cowok mencoba satu per satu.
Sebenarnya masih banyak detail yang pingin saya ceritakan. Tapi nanti jadi terlalu panjang. Beberapa yang menarik perhatian saya diantaranya: perasaan gembira murid-murid, suasana sekolah yang menyenangkan, dan guru-guru yang semangat dan murah senyum. Tak ada kekerasan dalam sekolah!
Ketika akhirnya kami harus pulang, mereka dengan semangat mengantar sampai halaman. Ridwan-san, Gerelma-san .... sampai jumpa .... Tak terasa ada sesuatu yang keluar dari sudut mata saya. Air mata.