Friday, March 16, 2007

Menjadi Sensei Sehari

Kamis, 15 Maret 2007. Untuk pertama kalinya saya masuk ke sekolah dasar negeri di Jepang. Bukan sebagai orang tua murid, tapi sebagai Visiting Teacher alias Sensei untuk mata pelajaran English bagi murid kelas 4. Nama sekolahnya Kasanui Higashi Shougakko (SDN Kasanui Timur) di Kusatsu City. Saya tidak sendiri, tapi berdua dengan Gerelma-san dari Mongol. Ehem!


Sudah lama saya bilang pada Yonekawa-san dari BKC International Office, agar bila ada kesempatan mengunjungi sekolah dasar, saya ingin sekali ikut. Saya ingin mengetahui suasana di sekolah dasar secara umum, sebelum anak saya menjadi murid SD di Jepang.

Sebelum hari-H, Hiromi Sensei (guru bahasa Inggris) dan beberapa guru lain bertemu dengan kami guna menyusun skenario kecil. Ada 2 kegiatan dasar, pertama adalah menjawab beberapa pertanyaan yang sudah disiapkan, dan kedua mengajarkan permainan khas anak-anak Indonesia. Tantangannya, kami harus sejauh mungkin memakai kalimat sederhana, mengingat mereka baru 2 tahun belajar English.

Ada 20 pertanyaan yang boleh dipilih oleh murid, diantaranya tentang agama, perayaan tahun baru, hari libur nasional, sayuran yang tumbuh di negara masing-masing, suhu dan musim, makanan favorit di Jepang, dan sebagainya. Dasar orang Jepang kali ya, kami berdua diharuskan menjawab semua pertanyaan saat briefing itu. Ketika akhirnya mereka puas dan surprise dengan jawaban kami, barulah jawaban-jawaban tadi mendapat approval. Mungkin juga karena saya Muslim, hehehe. Tentang permainan, saya pilih yang sederhana: PING SUT. Di sini, mereka punya Janken (gunting, batu, kertas) yang sejenis dengan ping sut. Sementara si Gerelma memilih permainan 10 batu ala Mongol.

Pukul 9 tepat, kami berangkat dari Kusatsu-Eki dengan mobil yang memang disiapkan. Kata Hiromi Sensei, murid-muridnya sudah tidak sabar dan pingin bertemu kami. Wah, heboh nih, pikir saya. Perkiraan saya tidak meleset. Mereka benar-benar girang bertemu kami. "Good morning Ridwan-san and Gerelma-san .....", serempak mereka menyambut kami di pintu kelas.

Dan waktu berlalu sangat cepat, mereka bergembira. Mereka sangat antusias, demikian juga saya. Mengalir begitu saja. Tapi sifat malu-malu anak Jepang masih kentara. Mereka baru berubah, ketika saya mulai bergurau secara lepas. Sampai-sampai Hiromi Sensei berkata, "Ridwan-san, harusnya Anda jadi guru, bukan PNS. Pas banget mimik dan gayanya". Saya hanya nyengir kuda. Hiromi Sensei tidak tahu, betapa menyakitkannya menjadi guru di Indonesia.

Kelas makin semarak, ketika saya keluarkan sesuatu dari balik jaket. Topi haji yang selalu saya pakai ketika sholat. "Kashite kudasai, kashite kudasai ...", teriak mereka. Mereka pingin mencoba topi orang Islam. Maka secara bergiliran, anak-anak cowok mencoba satu per satu.


Sebenarnya masih banyak detail yang pingin saya ceritakan. Tapi nanti jadi terlalu panjang. Beberapa yang menarik perhatian saya diantaranya: perasaan gembira murid-murid, suasana sekolah yang menyenangkan, dan guru-guru yang semangat dan murah senyum. Tak ada kekerasan dalam sekolah!


Ketika akhirnya kami harus pulang, mereka dengan semangat mengantar sampai halaman. Ridwan-san, Gerelma-san .... sampai jumpa .... Tak terasa ada sesuatu yang keluar dari sudut mata saya. Air mata.

Saturday, March 10, 2007

Mutia Pantas Jadi Menteri

Menelpon rumah di Indonesia adalah kebiasaan saya setiap malam. Saya berusaha untuk selalu berkomunikasi dengan keluarga, sebelum mereka menyusul saya ke Jepang.

Senin malam minggu lalu adalah Senin malam yang berbeda bagi saya. Setelah berbincang cukup lama dengan istri, kemudian dilanjutkan dengan anak pertama saya, Mutia. Mengapa saya katakan berbeda? Ini dia sebabnya.

Sambil terisak kecil, Mutia menyapa saya, "Abi apa kabar?". "Alhamdulillah, Abi baik. Mutia kenapa menangis?". Sambil menahan tangis yang hampir meledak, dia menjawab "Aku tadi disetrap di sekolah karena ikut upacaranya terlambat". "Koq, bisa terlambat sayang?", tanya saya. "Bangunnya terlambat atau jemputannya yang terlambat?". "Jemputannya Abi", sahutnya sambil terisak.

"Kata Bu Guru, nilai PKPn - ku mau dikurangi soalnya terlambat", lanjutnya polos. Kemudian saya menjelaskan bahwa tidak apa-apa nilainya dikurangi. "Teman-teman yang lain di jemputan disetrap juga, khan?", tanya saya selanjutnya. "Enggak, Bi. Si Hana (sebut saja begitu) pura-pura sakit dan langsung masuk kelas. Dia nggak dikurangi nilainya karena sakit. Padahal habis itu dia bilang ke aku kalau dia bohong". Kembali terdengar isaknya perlahan. "Ya sudah, nggak apa-apa. Kalau nanti nilai ulangan PKPn Mutia bagus, pasti pengurangan nilainya sedikit. Sabar ya sayang ....". "Iya Abi", sahutnya. Lalu saya minta dia kembali belajar dan telepon kembali diserahkan pada istri.


Setelah acara menelpon selesai, saya lantas berpikir. Ada sesuatu yang terlupa dalam pembicaraan saya dengan Mutia. Ah, saya ingat sekarang! Ternyata Mutia kena setrap di sekolah HANYA karena dia mencoba untuk jujur. Jika dia pura-pura sakit seperti teman satu jemputannya, pasti dia tidak kena setrap. Masya Allah. Ini insight yang sangat berharga dari anak saya. Saya dan istri memang mengajarkan pada anak-anak untuk selalu bersikap jujur dalam keadaan apapun. Pernah pada suatu ketika dia berbohong tentang nilai ulangan. Ketika ketahuan berbohong, saya marahi dia. Bukan karena nilai ulangannya yang jelek, tapi karena bohong. Setelah itu, dia berjanji untuk tidak bohong lagi.

Setelah terdiam beberapa menit, tak terasa tangan saya mengambil gagang telepon kembali. Saya harus melakukan sesuatu. "Assalamu'alaikum Ummi. Mutia mana?", tanya saya langsung. "Mutia sudah masuk kamar dan tidur. Tumben Abi nelpon lagi", kata istri saya keheranan. "Ah, nggak ada apa-apa. Cuma, tolong besok beritahu pada Mutia, bahwa Abi berterima kasih padanya. Katakan bahwa Abi bangga memiliki anak seperti dia". Setelah itu saya jelaskan percakapan saya dengannya pada istri. Akhirnya kami berdua tersenyum gembira. "OK, Insya Allah besok kusampaikan", sahut istri sembari menutup pembicaraan.

Malam itu, saya tidur sambil tersenyum. Segala puji hanya bagi Allah SWT. Betapa gembiranya saya selaku orang tua. ANAK SAYA BERUSAHA JUJUR -- walau dengan resika kena setrap -- seperti yang kami ajarkan. Sesuatu yang mulai sulit ditemui, bahkan dalam diri saya belakangan ini.

Saya jadi teringat dengan kejadian-kejadian yang menimpa Indonesia akhir-akhir ini. Percaya atau tidak, kejadian-kejadian tersebut pasti bermula dari ketidakjujuran. Penumpang ferry yang membeli tiket dengan tidak jujur; maskapai penerbangan yang memelihara pesawat dengan tidak jujur; aparat pemerintahan yang bekerja tanpa semangat kejujuran ..... Sesuatu yang lama-lama terakumulasi menjadi insiden, kecelakaan dan tragedi; hingga akhirnya menghilangkan nyawa manusia-manusia berharga yang kita miliki. Professor Kusnadi, DR. Masykur Wiratmo, DR. Mulyanto, Letjen (Purn) Yogi, dan para korban yang lain. Bagimanapun, mereka sangat berharga bagi keluarga yang ditinggalkan.

Ah, seandainya Mutia bisa jujur sampai kelak dia dewasa, tidak mustahil dia bisa jadi Menteri. Sebab saya yakin pada masanya nanti, Presiden Indonesia hanya memilih orang-orang jujur untuk jadi pembantunya. Dan malam itu, seorang ayah belajar dari anaknya.